KISAH LEGENDA EMPAT RAJA
Terdapat beberapa versi cerita mengenai asal-usul
nama Raja Ampat yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi
di dalam kehidupan masyarakat asli kepulauan Raja Ampat. Salah satu
versi dari cerita ini adalah sebagai berikut:
Pada suatu saat di Teluk Kabui Kampung Wawiyai ada sepasang suami istri pergi ke hutan (sebagai perambah hutan) untuk mencari makanan, ketika mereka tiba di tepi Sungai Waikeo (Wai artinya air, kew artinya teluk) mereka menemukan enam butir telur naga. Telur-telur tersebut disimpan dalam noken
(kantong) dan dibawa pulang, sesampainya di rumah telur-telur tersebut
disimpan dalam kamar. Ketika malam hari mereka mendengar suara
bisik-bisik, betapa kagetnya mereka ketika mereka melihat di dalam
kamar ternyata ke-lima butir telur telah menetas berwujud empat anak
laki-laki dan satu anak perempuan, semuanya berpakaian halus yang
menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan raja.
Sampai saat ini belum jelas siapa
yang memberikan nama kepada anak-anak tersebut tapi kemudian diketahui
bahwa masing-masing anak bernama :
- War menjadi Raja di Waigeo.
- Betani menjadi Raja di Salawati.
- Dohar menjadi Raja di Lilinta (Misool)
- Mohamad menjadi Raja di Waigama (Batanta)
Sedangkan anak yang perempuan (bernama Pintolee), pada suatu ketika anak perempuan tersebut diketahui sedang hamil dan oleh kakak-kakaknya Pintolee diletakkan dalam kulit bia (kerang) besar kemudian dihanyutkan hingga terdampar di Pulau Numfor. Satu telur lagi tidak menetas dan menjadi batu yang diberi nama Kapatnai
dan diperlakukan sebagai raja bahkan di beri ruangan tempat bersemayam
lengkap dengan dua batu yang berfungsi sebagai pengawal di kanan-kiri
pintu masuk bahkan setiap tahunnya dimandikan dan air mandinya
disiramkan kepada masyarakat sebagai babtisan untuk Suku Kawe. Tidak setiap saat batu tersebut bisa dilihat kecuali satu tahun sekali yaitu saat dimandikan.
Oleh karena masyarakat sangat menghormati keberadaan telur tersebut maka dibangunlah sebuah rumah ditepi Sungai Waikeo sebagai tempat tinggalnya dan hingga kini masih menjadi objek pemujaan masyarakat. (Sumber: Korneles Mambrasar)